Oleh Nurul Aflah
DALAM Indonesia Tertiary Basin Map yang dapat diunduh di website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada dua basin (cekungan) besar yang mengelilingi Aceh, yaitu North Sumatra Basin di pantai timur dan Sibolga Basin di pantai barat Aceh. yang dikategorikan sebagai drilled and proven discovery of petroleum. Namun North Sumatra Basin lebih menarik investor karena punya cadangan migas yang signifikan dan juga menghasilkan migas dalam volume yang besar seperti blok Arun dan NSO.
Dari peta cadangan hidrokarbon Indonesia, menginformasikan bahwa Aceh masih mempunyai cadangan gas alam yang signifikan dibandingkan dengan cadangan minyak bumi. Ini terlihat dalam peta Wilayah Kerja (WK) Migas Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian ESDM, ada beberapa WK migas aktif di Aceh. WK yang berada dalam tahap produksi, yaitu blok B (Arun), Pase NSO, Peureulak KSO, Glagah Kambuna TAC, Gebang dan NAD 1.
WK yang masih dalam tahap eksplorasi dan pengembangan, seperti blok Krueng Mane, Lhokseumawe, Seruway, East Seruway, Andaman III, South Blok A, West Glagah Kambuna dan Blok A (akan produksi). Kemudian ada blok Bireuen-Sigli yang sedang dilakukan joint study antara investor peminat dan Kementerian ESDM. Di samping itu Aceh juga masih menyisakan beberapa area yang bisa ditawarkan sebagai open working areas di pantai timur dan pantai barat Aceh.
Beberapa kegiatan hulu migas seperti akuisisi seismik pengeboran dan instalasi alat-alat berat tampak seperti kegiatan tersembunyi dan harus dirahasiakan. Masyarakat akan mengetahui kegiatan eksplorasi tersebut jika telah terjadi konflik dan diberitakan media cetak, seperti yang terjadi pada PT Saripari Geosains yang melakukan kegiatan seismik di Aceh Utara.
Pada pertengahan Desember 2011, di laut Kuala Bugak, Pereulak juga terjadi insiden antara pihak kapal seismik dengan nelayan setempat. Seperti diberitakan, para nelayan setempat kerap ditakuti dengan senjata api. Konflik sebenarnya bukan saja sering terjadi, tapi juga kerap terulang di tengah masyarakat. Persoalannya sangat sederhana, yaitu tidak adanya sosialisasi pada masyarakat.
Ketertutupan kegiatan migas juga meliputi nilai volume cadangan migas dan lifting (produksi) sumur migas. Sampai saat ini, Pemerintah Aceh selalu mengeluh tentang kesulitan mengakses data ini, sehingga curiga kepada pemerintah pusat terhadap nilai bagi hasil migas Aceh. Menang, setiap tahun Aceh selalu mendapatkan dana bagi hasil migas, tapi tidak dijelaskan bagaimana hitungan bagi hasil-nya.
Urgensi PP Migas
Kehadiran peraturan pemerintah (PP) Migas Aceh akan menjadi poin penting bagi pengembangan industri di Aceh. Pemerintah Aceh bisa menjadi lebih otonom dalam melakukan kegiatan migas, tentunya dengan membuat sebuah lembaga yang mirip dengan BP Migas, yaitu badan yang mengatur kegiatan hulu migas. Dengan terbentuknya BP Migas Aceh, diharapkan akan memotivasi Aceh untuk membentuk perusahaan-perusahaan migas lokal yang bergerak d ibidang eksplorasi dan produksi (EP).
Diharapkan segala transparansi dan akuntabilitas kegiatan EP migas akan lebih mudah tercapai. PP Migas Aceh harus mensyaratkan prioritas pemenuhan kebutuhan energi lokal seperti komitmen gas untuk industri pupuk dan listrik di Aceh.
Dalam pemakaian tenaga kerja, PP Migas Aceh juga harus mengatur kuota pemakaian tenaga lokal yang perbandingannya harus lebih besar. Semua perusahaan migas yang sekarang sedang beroperasi, baik eksplorasi ataupun produksi, yang izinnya diberikan sebelum PP Migas Aceh terbit, harus diikat dalam PP Migas Aceh ini.
PT Arun bukan perusahaan EP Migas, tetapi ia adalah perusahaan bentukan dari Pertamina, Exxon Mobil dan pemerintah Jepang. PT Arun adalah pabrik pengolah gas alam menjadi cair sehingga memudahkan untuk diekspor. Komitmen penjualan gas cair ini sangat besar sekali untuk ekspor ke Jepang dan Korea dan hanya sedikit untuk pabrik-pabrik pupuk yang ada di Aceh Utara. Akibatnya, sejumlah pabrik di Aceh Utara, terpaksa tutup karena kekurangan pasokan gas.
Dulu, ketika blok B (Arun) dieksploitasi secara besar-besaran, Aceh tidak diberikan kesempatan untuk ikut kedalam pengambilan keputusan. Sekarang, volume gas dari lapangan Arun telah hampir habis, dan kapasitas tangki-tangki LNG Arun tidak lagi ekonomis dalam pemrosesannya. Komitmen gas untuk ekspor ke Jepang dan Korea juga akan segera berakhir.
Menurut analisa ekonomi, kilang PT Arun akan menjadi ekonomis jika diubah menjadi receiving terminal gas. Pemberdayaan aset-aset PT Arun akan lebih bermanfat dibandingkan dengan pembangunan Floating Production, Storage and Offloading (FPSO) di Belawan, Sumatera Utara.
Aset berharga
Produksi gas alam baru yang nantinya akan keluar dari perut bumi Aceh akan jauh lebih ekonomis ditampung ke tangki-tangki Arun untuk kebutuhan domestik. Aset-aset PT Arun bukan hanya besi-besi yang nilainya ratusan miliar rupiah, para pekerja dengan pengalamannya adalah aset yang jauh lebih berharga.
Kehadiran BUMD lokal migas sangat dinantikan untuk membantu percepatan pemenuhan gas untuk listrik dan pupuk. BUMD lokal yang dibentuk mungkin dapat memulai kegiatan eksploitasi pada wilayah kerja migas yang akan expired dalam waktu dekat. Keberpihakan Pemerintah pusat terhadap Aceh untuk berdikari pada kegiatan migas sangat ditunggu oleh rakyat Aceh saat ini.
Hal yang paling sederhana mungkin dengan tidak memperpanjang salah satu kontrak blok migas yang akan berakhir pada Februari ini. Kemudian, tentunya, mengikhlaskan PT Arun untuk terus hidup tanpa adanya intrik-intrik untuk mematikan iklim industri Aceh, dan memajukan daerah tertentu dengan membangun pabrik sejenis. Padahal jelas dari desain ekonominya, pabrik Arun lebih ekonomis.
Penulis merasa yakin dengan iklim politik yang lebih kondusif ke depan, akan menggiatkan kembali kegiatan migas di bumi Aceh. Produksi gas Aceh juga diharapkan akan membuka kembali industri-industri yang telah lama mati suri dan melahirkan industri-industri baru. Ini, tentunya, akan tercapai jika semua rakyat Aceh dan pimpinannya berkomitmen penuh membangun Aceh ke arah yang lebih baik, adil dan sejahtera. Amin ya rabbal alamin.
* Nurul Aflah ST, M.Sc, Alumni penerima beasiswa Pemerintah Aceh jurusan Master of Petroleum Engineering Universiti Teknologi Petronas, Malaysia, dan Tim Penyusun Kurikulum Teknik Pertambangan Bidang Migas pada Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
DALAM Indonesia Tertiary Basin Map yang dapat diunduh di website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada dua basin (cekungan) besar yang mengelilingi Aceh, yaitu North Sumatra Basin di pantai timur dan Sibolga Basin di pantai barat Aceh. yang dikategorikan sebagai drilled and proven discovery of petroleum. Namun North Sumatra Basin lebih menarik investor karena punya cadangan migas yang signifikan dan juga menghasilkan migas dalam volume yang besar seperti blok Arun dan NSO.
Dari peta cadangan hidrokarbon Indonesia, menginformasikan bahwa Aceh masih mempunyai cadangan gas alam yang signifikan dibandingkan dengan cadangan minyak bumi. Ini terlihat dalam peta Wilayah Kerja (WK) Migas Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian ESDM, ada beberapa WK migas aktif di Aceh. WK yang berada dalam tahap produksi, yaitu blok B (Arun), Pase NSO, Peureulak KSO, Glagah Kambuna TAC, Gebang dan NAD 1.
WK yang masih dalam tahap eksplorasi dan pengembangan, seperti blok Krueng Mane, Lhokseumawe, Seruway, East Seruway, Andaman III, South Blok A, West Glagah Kambuna dan Blok A (akan produksi). Kemudian ada blok Bireuen-Sigli yang sedang dilakukan joint study antara investor peminat dan Kementerian ESDM. Di samping itu Aceh juga masih menyisakan beberapa area yang bisa ditawarkan sebagai open working areas di pantai timur dan pantai barat Aceh.
Beberapa kegiatan hulu migas seperti akuisisi seismik pengeboran dan instalasi alat-alat berat tampak seperti kegiatan tersembunyi dan harus dirahasiakan. Masyarakat akan mengetahui kegiatan eksplorasi tersebut jika telah terjadi konflik dan diberitakan media cetak, seperti yang terjadi pada PT Saripari Geosains yang melakukan kegiatan seismik di Aceh Utara.
Pada pertengahan Desember 2011, di laut Kuala Bugak, Pereulak juga terjadi insiden antara pihak kapal seismik dengan nelayan setempat. Seperti diberitakan, para nelayan setempat kerap ditakuti dengan senjata api. Konflik sebenarnya bukan saja sering terjadi, tapi juga kerap terulang di tengah masyarakat. Persoalannya sangat sederhana, yaitu tidak adanya sosialisasi pada masyarakat.
Ketertutupan kegiatan migas juga meliputi nilai volume cadangan migas dan lifting (produksi) sumur migas. Sampai saat ini, Pemerintah Aceh selalu mengeluh tentang kesulitan mengakses data ini, sehingga curiga kepada pemerintah pusat terhadap nilai bagi hasil migas Aceh. Menang, setiap tahun Aceh selalu mendapatkan dana bagi hasil migas, tapi tidak dijelaskan bagaimana hitungan bagi hasil-nya.
Urgensi PP Migas
Kehadiran peraturan pemerintah (PP) Migas Aceh akan menjadi poin penting bagi pengembangan industri di Aceh. Pemerintah Aceh bisa menjadi lebih otonom dalam melakukan kegiatan migas, tentunya dengan membuat sebuah lembaga yang mirip dengan BP Migas, yaitu badan yang mengatur kegiatan hulu migas. Dengan terbentuknya BP Migas Aceh, diharapkan akan memotivasi Aceh untuk membentuk perusahaan-perusahaan migas lokal yang bergerak d ibidang eksplorasi dan produksi (EP).
Diharapkan segala transparansi dan akuntabilitas kegiatan EP migas akan lebih mudah tercapai. PP Migas Aceh harus mensyaratkan prioritas pemenuhan kebutuhan energi lokal seperti komitmen gas untuk industri pupuk dan listrik di Aceh.
Dalam pemakaian tenaga kerja, PP Migas Aceh juga harus mengatur kuota pemakaian tenaga lokal yang perbandingannya harus lebih besar. Semua perusahaan migas yang sekarang sedang beroperasi, baik eksplorasi ataupun produksi, yang izinnya diberikan sebelum PP Migas Aceh terbit, harus diikat dalam PP Migas Aceh ini.
PT Arun bukan perusahaan EP Migas, tetapi ia adalah perusahaan bentukan dari Pertamina, Exxon Mobil dan pemerintah Jepang. PT Arun adalah pabrik pengolah gas alam menjadi cair sehingga memudahkan untuk diekspor. Komitmen penjualan gas cair ini sangat besar sekali untuk ekspor ke Jepang dan Korea dan hanya sedikit untuk pabrik-pabrik pupuk yang ada di Aceh Utara. Akibatnya, sejumlah pabrik di Aceh Utara, terpaksa tutup karena kekurangan pasokan gas.
Dulu, ketika blok B (Arun) dieksploitasi secara besar-besaran, Aceh tidak diberikan kesempatan untuk ikut kedalam pengambilan keputusan. Sekarang, volume gas dari lapangan Arun telah hampir habis, dan kapasitas tangki-tangki LNG Arun tidak lagi ekonomis dalam pemrosesannya. Komitmen gas untuk ekspor ke Jepang dan Korea juga akan segera berakhir.
Menurut analisa ekonomi, kilang PT Arun akan menjadi ekonomis jika diubah menjadi receiving terminal gas. Pemberdayaan aset-aset PT Arun akan lebih bermanfat dibandingkan dengan pembangunan Floating Production, Storage and Offloading (FPSO) di Belawan, Sumatera Utara.
Aset berharga
Produksi gas alam baru yang nantinya akan keluar dari perut bumi Aceh akan jauh lebih ekonomis ditampung ke tangki-tangki Arun untuk kebutuhan domestik. Aset-aset PT Arun bukan hanya besi-besi yang nilainya ratusan miliar rupiah, para pekerja dengan pengalamannya adalah aset yang jauh lebih berharga.
Kehadiran BUMD lokal migas sangat dinantikan untuk membantu percepatan pemenuhan gas untuk listrik dan pupuk. BUMD lokal yang dibentuk mungkin dapat memulai kegiatan eksploitasi pada wilayah kerja migas yang akan expired dalam waktu dekat. Keberpihakan Pemerintah pusat terhadap Aceh untuk berdikari pada kegiatan migas sangat ditunggu oleh rakyat Aceh saat ini.
Hal yang paling sederhana mungkin dengan tidak memperpanjang salah satu kontrak blok migas yang akan berakhir pada Februari ini. Kemudian, tentunya, mengikhlaskan PT Arun untuk terus hidup tanpa adanya intrik-intrik untuk mematikan iklim industri Aceh, dan memajukan daerah tertentu dengan membangun pabrik sejenis. Padahal jelas dari desain ekonominya, pabrik Arun lebih ekonomis.
Penulis merasa yakin dengan iklim politik yang lebih kondusif ke depan, akan menggiatkan kembali kegiatan migas di bumi Aceh. Produksi gas Aceh juga diharapkan akan membuka kembali industri-industri yang telah lama mati suri dan melahirkan industri-industri baru. Ini, tentunya, akan tercapai jika semua rakyat Aceh dan pimpinannya berkomitmen penuh membangun Aceh ke arah yang lebih baik, adil dan sejahtera. Amin ya rabbal alamin.
* Nurul Aflah ST, M.Sc, Alumni penerima beasiswa Pemerintah Aceh jurusan Master of Petroleum Engineering Universiti Teknologi Petronas, Malaysia, dan Tim Penyusun Kurikulum Teknik Pertambangan Bidang Migas pada Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
sumber : aceh.tribunnews.com