Keberadaan uranium di Aceh hingga kini
masih menjadi tanda tanya dan bahan perdebatan yang tak pasti. Sebagian
kalangan meyakini, bahwa Aceh memiliki kekayaan alam “berharga” ini.
Dari beberapa hasil searching, Saya menemukan beberapa hal aneh
berkaitan dengan keberadaan uranium di Aceh.
Salah satunya adalah, bantuan Uni Eropa
untuk riset di Taman nasional Gunung Leuser (TNGL). Bantuan ini
ditengarai membawa motif tertentu. Adakah ini bagian dari strategi debt
for nature swap, yang terwujud dalam bantuan pemulihan lingkungan namun
dengan niat melakukan penguasaan? Lalu apa hubungannya dengan mega
proyek LADIA GALASKA?
selain itu, masyarakat Uni Eropa juga
mempersiapkan dana senilai Rp. 308 miliar sebagai biaya untuk
pra-penambangan sumber daya alam di kawasan hutan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL). Hal itu terungkap dalam data-data dan dokumen milik
Masyarakat Peduli Leuser (MPL).
Temuan itu diperkuat dari keterangan
Programe Officer Uni Eropa, Marcell De Brune kepada MPL, di Jakarta, 14
Juni 2001 lalu. Menurut HM Kamaludin Lubis SH, pendiri MPL, bantuan
penyelamatan hutan yang dilakukan Uni Eropa selama ini adalah kamuflase
belaka. (Analisa, 5 Juni 2001).
Dana itu belum termasuk dana konservasi
penyelamatan Leuser. Jutaan dolar dikucurkan untuk Leuser oleh
Negara-negara donor di Eropa dan Amerika. Bantuan tersebut tentu
disambut sukacita bangsa Indonesia . Karena, kawasan hutan Leuser
dijadikan sebagai paru-paru dunia oleh internasional.
Bile menelisik secara detail, mengapa
hanya Leuser, padahal hutan-hutan di Indonesia juga banyak. Seperti
Irian jaya dan Kalimantan. Hutan kedua wilayah ini lebih luas dan besar
bila dibanding Leuser. Ada apa gerangan di Leuser sehingga negera-negara
donor sangat “getol” menggembar-gemborkan pentingnya penyelamatan
Leuser.
Ada Apa di Leuser.
Hasil penelitian dari Badan Tenaga Atom
Nasional (BATAN) di kawasan TNGL, pada tahun 1987 lampau. Lembaga riset
itu menemukan 21 jenis bahan tambang alam diperut TNGL. Potensi bahan
tambang itu antara lain adalah uranium, batu-bara, bahan baku semen,
emas dan nikel.
Hasil penelitian BATAN tersebut diperkuat
oleh hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1996. Ir. Aldan Djalil,
BE. Sriyono, Agus Sutriyono dan Sajiyo, melakukan penelitian di daerah
kawasan leuser, tepatnya di Simpang Kanan, Aceh Timur. Hasi penelitian
tersebut dimuat dalam Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan Bakar
Nuklir II, Jakarta, 19-20 Nopember 1996.
Pernyataan keras telah dilontarkan
pengamat lingkungan hidup asal Sumatera Utara, Prof DR. Bungaran
Antonius simajuntak. Ia meminta kepada Pemerintah Indonesia agar
menyelidiki dugaan TNGL menyimpan bahan tambang Uranium (bahan baku
nuklir).
Professor ini menanggapi pendapat MPL
yang menuding Uni Eropa sesungguhnya bukan ingin menyelamatkan TNGL,
tapi ingin menguasai kawasan itu, karena menyimpan uranium sebagai bahan
baku nuklir.
Seperti ada sebuah kesengajaan untuk
merahasiakan dan mengelabui bangsa Indonesia melalui penyelamatan
paru-paru dunia. Apalagi, seperti kita ketahui, harga uranium sangat
mahal dan tidak semua negara di dunia ini diperbolehkan mengolahnya.
Penelitian lainnya dilakukan oleh
Jonathan Tarigan, anggota orgasisasi pencinta Leuser. Dia menyebutkan
adanya potensi tambang emas, uranium, tembaga, minyak dan gas bumi..
Hanya ini? Tentu tidak. Disinyalir, kandungan Uranium yang tinggi di
kawasan Leuser menjadi kekhawatiran Amerika dan Eropa. Mereka telah lama
memantau kandungan uranium Leuser via satelit.
Buktinya, tutur Lubis, studi tentang
hutan TNGL oleh para peneliti dari Uni Eropa yang telah berlangsung
tahunan itu tak pernah jelas juntrungannya. “Pemerintah Indonesia tak
mendapatkan satupun laporan dari hasil studi itu,” ungkap Lubis.
Menurutnya, hasil penelitian tersebut langsung dilaporkan ke Uni Eropa
melalui Yayasan Leuser Indonesia YLI).
Salah satu MEGA proyek penuh kontroversi
dan penuh hujatan para aktivis lingkungan adalah LADIA GALASKA. Walau
secara tertulis diprakarsai oleh Gubernur Aceh saat itu (Abdullah
Puteh), namun disinyalir ada sebuah permainan antara pihak asing dengan
Yayasan Leuser.
Ilham Sinambela, mantan anggota Tim
Verifikasi Informasi Independen Proyek Peningkatan Ruas Jalan Ladia
Galaska Utama Di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keterangan
saksi di antaranya adalah, bahwa ia melihat sendiri ada perealisasian
proyek Ladia Galaska saat itu (Februari 2003), ada relokasi
(pemindahan/pembukaan jalan baru) di daerah simpang Badak menuju Desa
Gajah, Kecamatan Pinding, Gayo Lues, serta ditemui lokasi-lokasi
perambahan hutan di kiri-kanan jalan sepanjang ruas jalan tersebut.
Ntah sebuah kebetulan atau tidak, menurut
Bupati Gayo Lues saat itu, Muhammad Alikasim Kemaladerna, di wilayah
Kecamatan Pinding yang sebagian masuk Taman Nasional Gunung Leuser
terdapat uranium yang bisa dikembangkan menjadi pusat pembangkit listrik
tenaga nuklir dan keperluan militer.
Yang aneh, pihak pendonor, Uni Eropa
justru tidak pernah komplain dan protes atas pelaksanaan proyek ini.
Bahkan pihak internasional pun tidak ambil pusing. Justru protes datang
dari aktivis-aktivis lingkungan seperti WALHI.
Disayangkan, hingga saat ini, pemerintah
Indonesia, Aceh khususnya, masih diam seribu bahasa. Apakah kekayaan ini
akan diberikan kepada investor juga yang pada kenyuataan realnya
seluruh investor di Indonesia tidak banyak memberi masukan bagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD).