Semakin menurunnya cadangan minyak bumi dan bahan bakar sumber
fosil lain akhirnya menjadi permasalahan serius bagi seluruh dunia.
Untuk itulah perlu adanya solusi alternatif sumber energi terbarukan
yang efisien dan ramah lingkungan.
Di beberapa
negara negara seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis,
Kanada, Jepang, Belanda, dan Korea telah mulai meneliti kemungkinan
pemanfaatan energi dari laut terutama gelombang, pasang surut, dan panas
laut dengan hasil yg memberikan harapan cukup baik.
Bagi
Indonesia yang memiliki luas perairan hampir 60% dari luas wilayahnya,
pemanfaatan sumber energi terbarukan yang berasal dari lautan sangatlah
mungkin dilakukan untuk bisa menggantikan ketergantungan terhadap bahan
bakar fosil.
Akhirnya penelitian hingga pemanfaatan
lautan sebagai upaya mencari jawaban terhadap tantangan kekurangan
energi di waktu mendatang dan upaya penggunaan sumber daya energi
tersebut tengah dilakukan berbagai pihak.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM), Indonesia memiliki potensi energi laut yg bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif sebesar 49 GW (Giga Watt).
“Bila energi laut ini mulai dimanfaatkan
dari sekarang maka akan sangat membantu dalam mengurangi pemakaian
energi fosil seperti minyak bumi, gas bumi, dan batu bara,” ungkap Prof
Rizald Max Rompas, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
Perikanan.
Pemanfaatan energi laut untuk kebutuhan
listrik sebenarnya bisa dilakukan melalui 3 cara yakni dengan
memanfaatkan gelombang, arus hingga perbedaan suhu lapisan lautnya (Ocean Thermal Energy Conversion atau OTEC).
Dari masing-masing cara pemanfaatan energi laut Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI) di tahun 2011 telah mendata potensi energi listrik yang bisa dihasilkan. Arus pasang surut memiliki potensi teoritis sebesar 160 gigawatt (GW), potensi teknis 22,5 GW, dan potensi praktis 4,8 GW.
“Gelombang laut mempunyai potensi teoritis
510 GW, potensi teknis 2 GW, dan potensi praktis 1,2 GW. Serta panas
laut memiliki potensi teoritis 57 GW, potensi teknis 52 GW, dan potensi
praktis 43 GW,” tutur Mukhtasor, Ketua ASELI.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
asosiasi tersebut, secara teoritis, total sumberdaya energi laut
nasional sangat melimpah, meliputi energi dari jenis panas laut,
gelombang laut dan arus laut, yaitu mencapai 727.000 MW.
Namun demikian, potensi energi laut yang
dapat dimanfaatkan dengan menggunakan teknologi sekarang dan secara
praktis memungkinkan untuk dikembangkan, berkisar antara 49.000 MW.
Diantara potensi sedemikian besar tersebut, industri energi laut yang
paling siap adalah industri berbasis teknologi gelombang dan teknologi
arus pasang surut, dengan potensi praktis sebesar 6.000 MW.
“Sedangkan untuk prioritas jangka menengah dan panjang, diperlukan pengembangan pilot project pemanfaatan energi panas laut dengan teknologi Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC).
Selain untuk kebutuhan listik, ia memiliki fungsi yang bermacam-macam
seperti perikanan tangkap, penyediaan air mineral dan tawar, penelitian,
dan bahkan untuk wisata,” tutur Mukhtasor
Pijakan pengembangan energi laut
sebenarnya telah tersedia dalam UU No. 30/2007 tentang Energi maupun UU
No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Undang-undang tersebut mengamanatkan
bahwa penyediaan dan pemanfaaran energi terbarukan wajib ditingkatkan
oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 20 angka 4 dan pasal 21
angka 2), penyediaan dan pemanfaatan energi dari sumber energi
terbarukan dapat memperoleh kemudahan dan/atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai
keekonomiannya (pasal 20 angka 5 dan pasal 21 angka 3).
Penelitian Awal
Penelitian
awal mengenai pemanfaatan energi laut khususnya pemanfaatan arus laut
sebenarnya sudah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
lewat Balitbang KP.
“Energi laut yang menghasilkan listrik
sebanyak 5Kw (Kilo watt) sudah berhasil dilakukan di Selat Larantuka,
Flores, Nusa Tenggara Timur. Energi ini dihasilkan dari arus selat yang
sangat besar di Selat Larantuka,” ungkap Prof Rizald Max Rompas.
Di tahun mendatang, Balitbang KP tengah
melakukan penelitian untuk bisa menghasilkan listrik sebanyak 10 Kw
sembari meneliti lokasi yang potensial untuk pengembangan energi arus
ini. “Setidaknya ada 4 lokasi lain yang potensial selain di Larantuka
yakni Pulau Jawa, Sulawesi Tenggara, Papua dan Batam,” urai Prof Rizald
Max Rompas.
Masih di lokasi yang sama, Larantuka pun
diuji cobakan sebagai daerah potensial penghasil energi listrik sebesar
50 kW di tahun 2014 mendatang. Dipilihnya lokasi ini karena berdasarkan
penelitian, arus laut yang keluar masuk Selat Larantuka dan
selat-selat lain di sepanjang Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur terutama disebabkan oleh gaya tarik menarik antara bumi, bulan,
dan matahari.
Gaya ini menimbulkan pasang naik dan
pasang surut di Laut Sawu, dan Laut Flores. Karena ada perbedaan tinggi
muka air laut antara kedua laut tersebut maka air mengalir dan bertambah
kecepatannya menjadi arus laut yang deras saat melewati selat-selat
sempit.
Untuk bisa mengaplikasikan pemanfaatan
energi laut ini, kerjasama antar lembaga dan institusi sangatlah
dibutuhkan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kemen ESDM pun
tengah menjajaki kemungkinan kerjasama tersebut.
“Kerjasama dengan ESDM ini dijalin karena
dalam hal distribusi ke masyarakat mengenai energi bukanlah menjadi
ranah dari Balitbang KP,” tutur Prof Rizald Max Rompas.
Meskipun penelitian energi listrik 50kW
baru dilaksanakan dalam jangka waktu 2 tahun mendatang, Prof Rizald Max
Rompas meyakini perlu adanya rintisan usaha untuk mulai menjalin
kerjasama tersebut salah satunya lewat Komisi 7 Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang menangani energi.
Potensi Energi Laut Lainnya
Selain
pemanfaatan energi laut lewat arus, ombak dan panas laut, organisme laut
pun sangat potensial dimanfaatkan sebagai sumber energi baru dan
terbarukan. Salah satunya adalah makroalga (rumput laut) dan mikroalga
(alga/ganggang), keduanya bisa diekstrak menjadi biofuel.
“Selama ini biofuel dimanfaatkan
melalui biji jarak, namun pengembangannya sendiri masih tersendat
karena terbatas pada lahan dan waktu produksi yang sangat lama serta
pengolahan untuk menjadi minyak jarak yang rumit,” ungkap Prof Rizald
Max Rompas.
Sedangkan biofuel yang berasal dari
makroalga dan mikroalga sendiri bisa dilakukan dalam skala komersial
atau hanya skala rumah tangga. Prof Rizald sempat mencontohkan
pemanfaatan biofuel skala rumah tangga yang dilakukan di Jerman.
Balitbang KP sendiri tengah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan biofuel
dari mikroalga dan makroalga untuk masyarakat. Dengan adanya penelitian
ini, diharapkan masyarakat Indonesia bisa mendapat pilihan dalam
pemanfaatan energi terbarukan.